Miliki Garis Pantai Terpanjang di Dunia, Indonesia Berpeluang Besar Mencapai Ketahanan Energi Dengan Sistem PLTS Apung

Miliki Garis Pantai Terpanjang di Dunia, Indonesia Berpeluang Besar Mencapai Ketahanan Energi Dengan Sistem PLTS Apung

 Miliki Garis Pantai Terpanjang di Dunia Miliki Garis Pantai Terpanjang di Dunia, Indonesia Berpeluang Besar Mencapai Ketahanan Energi Dengan Sistem PLTS Apung
Ilustrasi PLTS Apung
  Kita patut berbangga karena pada tahun 2019 ini Indonesia berhasil membangun Sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Terapung terbesar di dunia. Megaproyek bernama PLTS Apung Cirata ini berkapasitas 200 megawatt (MW) dan ditargetkan akan mulai beroperasi pada kuartal pertama 2019. Tak tanggung-tanggung, dana yang dikeluarkan pemerintah untuk investasi proyek ini mencapai 180 juta dolar As atau sekitar Rp 2,4 triliun. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mencapai ketahanan energi nasional melalui pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
   Jika melihat potensi energi surya sendiri, berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari berbagai lokasi di Indonesia menunjukkan potensi energi panas di Indonesia mencapai 4,8 kWh/m2/hari atau setara  dengan 112 ribu GWp. Jumlah ini bahkan 10 kali lipat lebih besar dari Jerman yang notabene adalah negara terdepan dalam hal teknologi PLTS. Terlebih Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah tropis dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun menjadikan negara ini berpeluang besar mencapai ketahanan energi dengan memanfaatkan energi surya.
  Seperti halnya PLTS Terapung Cirata tadi, peluang Indonesia untuk menerapkan sistem ini sangatlah besar mengingat Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia yang mencapai 108.000 Km. Daerah pesisir pantai merupakan tempat yang sangat cocok untuk dibangun sistem PLTS Apung karena selain suhunya stabil serta tidak menggangu penduduk jika dibangun dalam skala yang besar. Penerapan teknologi ini akan lebih bermanfaat jika dibangun di daerah 3T yang sama sekali belum mendapatkan akses listrik.
   Namun, jika melihat praktiknya di lapangan, boleh dikatakan Indonesia masih ketinggalan jauh dari negara-negara lain dalam pemanfaatan energi surya. Dari seluruh potensi yang ada, hanya 0,0002 % yang baru bisa dimanfaatkan. Hal ini terlihat dari kapasitas PLTS Indonesia yang masih sangat minim, berdasarkan data dari Institute for Essential Service Reform (IESR) tahun 2018 menyebutkan, kapasitas PLTS Indonesia baru mencapai 90 MWp, sedangkan target pemerintah 6,6 Gigawatt-peak (GWp) pada tahun 2025. Bandingkan dengan negara tetangga Thailand, negri para gajah ini bahkan sudah memiliki kapasitas PLTS yang mencapai 2,7 GWp.
   Tantangan Indonesia untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan 23% pada 2025 yang dicanangkan oleh pemerintah harus segera direalisasikan. Hal ini mengingat bahan bakar fosil dan sumber energi tidak terbarukan lainnya kian lama semakin menipis. Selain itu, emisi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik konvensional seperti PLTU sangatlah tinggi. Berdasarkan data Bappenas pada tahun 2014, Indonesia bersama dengan Cina merupakan negara tertinggi emisi CO2 nya. Sesuai amanah RPJMN, Indonesia harus mampu memanfaatkan energi yang tidak merusak lingkungan dan mendukung visi pembangunan berkelanjutan.
   Namun untuk mencapai ketahanan energi melalui pemanfaatan EBT bukanlah hal yang mudah, perlu proses yang panjang dan rumit. Proyek PLTS misalnya, biaya pembangungannya merupakan kendala yang sering membuat proyek ini sulit dijalankan. Sebagai contoh, biaya pemasangan PLTS Rooftop berkapasitas 1 KwP dapat berkisar Rp. 15 - 18 juta. Biaya tersebut tentu masih tergolong mahal bagi sebagian masyarakat Indonesia sehingga perkembangan penerapannya masih lambat. Kendala lain yang sering ditemui yaitu masih kurangya pengetahuan masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di daerah 3T akan teknologi PLTS sendiri.
   Permasalahan diatas akan semakin mempersulit target pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 sehingga dibutuhkan solusinya. Solusi yang penulis rasa baik untuk dijalankan adalah dengan mempertimbangkan konsep Public Private Partnership (PPP) antara pemerintah dan perusahaan dalam membangun PLTS terutama PLTS Apung. Salah satu perusahaan yang memiliki kapabilitas yang tinggi dan direkomendasikan adalah Insun-Power. Perusahaan yang bergerak di bidang teknologi energi surya ini telah memiliki pengalaman yang mumpuni serta riset yang mendalam dibidangnya. Hal ini dibuktikan oleh tingginya kualitas panel surya yang diproduksi oleh anak perusahan PT Outline Dutch Core ini. 
   Salah satu produk panel surya yang diproduksi oleh Insun-Power adalah Q-peak 320 Duo black frame. Produk ini bahkan mampu menyerap lebih banyak energi matahari di permukaan yang sempit. Kapasitasnya menjadikan perusahaan sebagai sel terbesar dan salah satu produsen terbesar modul surya di dunia.
  Proyek ini akan lebih bermanfaat jika diterapkan di daerah 3T yang sebagian besar belum mendapatkan akses akan listrik. Begitu pula dengan kota besar yang dekat dengan pantai, proyek ini akan membantu menambah kapasitas energi yang kadang sering melewati batas dan menyebabkan listrik padam. Kombinasi PLTS Apung dengan turbin angin akan meningkatkan kapasitas energi mengingat pesisir pantai memiliki kekuatan tiupan angin yang stabil.
   Akhir kata, penulis berharap target bauran energi 23% dari EBT bukan sekedar wacana yang hanya panas diawal. Pemerintah harus bekerja keras dalam mewujudkan ketahanan energi yang berbasiskan energi hijau yang ramah lingkungan. Rakyat Indonesia menantikan wajah baru Indonesia yang mapan dalam segi energi.

Referensi Bacaan
  • https://maritim.go.id/menko-maritim-luncurkan-data-rujukan-wilayah-kelautan-indonesia/
  • https://www.liputan6.com/bisnis/read/3208115/terbesar-di-dunia-plts-apung-cirata-beroperasi-2019
  • http://smg.b2tke.bppt.go.id/index.php/2017/04/13/peluang-plts-rooftop-di-indonesia/
  • https://iesr.or.id/2018/07/kapasitas-plts-indonesia-masih-minim/
  • https://www.researchgate.net/publication/277916035_POTENSI_DAN_PERANAN_PLTS_SEBAGAI_ENERGI_ALTERNATIF_MASA_DEPAN_DI_INDONESIA
  • https://www.google.com/urlbitsa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=2ahUKEwjQxsP6xbLgAhWGinAKHQ72AREQFjAGegQIABAC&url=https%3A%2F%2Fwww.ekon.go.id%2Fpublikasi%2Fdownload%2F2053%2F1499%2Frenstra-d3-2015-2019.pdf&usg=AOvVaw10N8swZAv7e9K1-bpPBAZl